Minggu, 25 Januari 2009

MAKALAH SEMINARKU "24 DES 2008"


PENGEMBANGAN SISTEM PENGELOLAAN DANA CORPORATE SOCIAL RESPONCIBILITY (CSR)

I. PENDAHULUAN

Perusahaan sebagai sebuah sistem, dalam keberlanjutan dan keseimbangannya tidak bisa berdiri sendiri. Perusahaan memerlukan kemitraan yang saling timbal balik dengan institusi lain. Selain mengejar keuntungan ekonomi untuk kesejahteraan dirinya, perusahaan juga memerlukan alam untuk sumber daya olahannya dan stakeholders lain untuk mencapai tujuannya. Dengan menggunakan pendekatan tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga keuntungan secara sosial. Dengan demikian keberlangsungan usaha tersebut dapat berlangsung dengan baik dan secara tidak langsung akan mencegah konflik yang merugikan.

Ketika suatu perusahaan beroperasi, maka melekatlah tuntutan dan tanggung jawab bagi perusahaan yang bersangkutan akan komunitas lokal yang ada di sekitarnya (stake holder). Bagaimana pun, kelangsungan perusahaan bergantung dari dukungan banyak pihak. Selain komunitas internal seperti pemegang saham, karyawan, keluarga karyawan, perhatian pada masyarakat sekitar juga ternyata membawa dampak positif bagi perusahaan.

Beberapa tahun belakangan ini Corporate Social Responcibility (CSR) ramai diperbincangkan orang sebagai solusi bagaimana seharusnya pihak perusahaan bersikap terhadap lingkungan sosial di mana pihak perusahaan dalam hal ini dilihat sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Saat ini perusahaan dihadapkan pada paradigma yang relatif masih baru di Indonesia, yaitu paradigma yang melihat antara pihak perusahaan dan masyarakat bukanlah dua pihak yang berbeda dan bertolak belakang, namun merupakan bagian yang tak terpisahkan. Suatu perusahaan dapat mengabdikan dirinya kepada masyarakat. Akan tetapi, yang terjadi, CSR tidak lebih dari sebuah alat marketing bagi perusahaan. Bagaimanakah seharusnya pelaksanaan CSR? Lalu apa sajakah yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam menyikapi hal ini?

II. ISI

A. Dasar Hukum dan Pelaksanaan CSR di Indonesia
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Dengan adanya undang-undang ini, industri atau korporasi-korporasi wajib melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan suatu beban yang memberatkan. Ketentuan ini diharapkan akan menciptakan hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

Berikut merupakan bunyi dari Undang-Undang tersebut (Jamin, 2007):
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
(2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaanya dilakukan dengan memperhatikan kepatuhan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 74 tersebut memuat limitasi terhadap perusahaan yang harus menerapkan, yaitu perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam atau perusahaan yang kegiatannya berkaitan dengan sumber daya alam. Tanggung jawab CSR ini mestinya tidak hanya pada perusahaan industri yang menghasilkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat, tetapi juga sektor keuangan atau finansial seperti lembaga keuntungan bank dan bukan, ini akan berpengaruh terhadap brand image masyarakat, untuk lebih memilih perusahaan yang lebih banyak aktif atau berkepedulian terhadap lingkungan (Jamin, 2007).

Dalam ayat (3) dijelaskan pula bahwa pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat baik bagi perseroan, komunitas, kehidupan setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Pembangunan suatu negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan industri, tetapi setiap manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat. Industri dan korporasi berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangkan pula faktor lingkungan hidup. Kini dunia usaha tidak lagi memperhatikan catatan keuangan semata, tetapi sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek lingkungan. Tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan.

B. Model Penerapan CSR di Berbagai Perusahaan

Pertamina
Pertamina membagi CSR-nya dalam dua program utama, yaitu community relations dan community development. Community relations merupakan bantuan jangka pendek kepada masyarakat, diantaranya Program Bina Lingkungan yang telah dijalankan sejak 2004 berupa bantuan bencana alam, pendidikan, kesehatan, perbaikan sarana dan fasilitas umum dan ibadah.
Community development merupakan pengembangan secara sistematis dan terencana, diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat mencapai kondisi sosial ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik secara mandiri. Misalnya dengan program peningkatan usaha kecil menjadi tangguh dan mandiri. Pertamina telah memiliki 2500 usaha mikro kecil dan menengah sebagai mitra binaan dengan memberikan pinjaman lunak bagi pengusaha kecil.

PT. Bank Mandiri Tbk
CSR Bank Mandiri adalah Wirausaha Muda Mandiri yang bertujuan mengajak dan mengubah generasi muda menjadi generasi pencipta lapangan kerja, dan bukan pencari kerja. Bank Mandiri membantu dalam hal pembiayaan, pemasaran, coaching, dan pendampingan.

Selain itu, mereka juga memiliki Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) atau yang populer dengan sebutan Corporate Secretary Responsibility (CSR). Sebagian besar mitra binaan Bank Mandiri dalam program CSR adalah pengusaha kecil dan menengah (UKM). Caranya Bank Mandiri menyediakan website khusus dengan nama www.pkbl-mandiri.com. Website berisi informasi kegiatan CSR Bank Mandiri bersama dengan UKM itu.

PT. Unilever Indonesia Tbk
Unilever menciptakan rantai nilai, mulai dari pemasok, pelanggan, hingga konsumen. Standar perilaku usaha bagi pemasok, yang disebut Business Partner Code dan menerapkan Supplier Quality Management Programme (SQMP) untuk mendorong pemasok dalam meningkatkan kemampuan dan kinerja mereka. Unilever bermitra dengan berbagai jenis distributor independen untuk meningkatkan semangat kewirausahaan, menciptakan lapangan kerja, serta memberikan keuntungan bagi usaha-usaha lokal.

Selain itu, Unilever juga memiliki kontribusi kepada masyarakat luas dengan melakukan kemitraan dengan LSM, badan pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat dengan melakukan program-program berkesinambungan dan dilaksanakan secara profesional di bawah Yayasan Unilever Indonesia Peduli.

PT. Newmont
Untuk mengembalikan citra positif perusahaannya akibat dugaan pencemaran di Teluk Buyat, PT. Newmont berkomitmen melanjutkan kegiatan reklamasi, pemantauan dan pengelolaan lingkungan terutama pengujian toksisitas terhadap larutan talling agar tidak melewati ambang batas dan tidak mencemari biota laut. Selain itu, PT Newmont telah menciptakan lapangan kerja, mengembangkan usaha masyarakat, pembangunan sarana jalan dan memberikan program pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat sekitar. Strategi lainnya adalah pihak perusahaan secara terbuka membangun kemitraan dengan berbagai kalangan dan organisasi termasuk LSM yang profesional.

Telkomsel
Dengan Program Indigo Child-nya, Telkomsel memberikan pelajaran mengenai informatika dan teknologi terhadap beberapa pondok pesantren yang ada di Bandung.

PT Sampoerna Agro Tbkm dan PT Astra Agro Lestari Tbk
Kedua perusahaan kelapa sawit ini melakukan kemitraan inti-plasma dengan masyarakat sekitar. Sejauh ini memang telah terbukti nyata mampu meningkatkan taraf pendapatan warga sekitar kebun, tepatnya para petani sawit yang menjadi plasma binaan perusahaan inti.

Dalam praktiknya, terdapat dua bentuk program kemitraan inti-plasma, yaitu Perkebunan Inti Rakyat bagi Transmigran (PIR-Trans) dan petani kelompok koperasi dengan fasilitas Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Keduanya sudah ada sejak awal 1990-an. Lewat program PIR Trans, pemerintah menyediakan lahan tertentu yang akan dikelola oleh perusahaan perkebunan dengan melibatkan petani transmigran. Itu dikenal dengan kemitraan inti-plasma. Atau, melalui program KKPA yang melibatkan perbankan dalam pemberian kredit kepada anggota koperasi.

C. Sistem Pengelolaan CSR di Indonesia
Peningkatan posisi tawar masyarakat sipil masih harus diperjuangkan. Masyarakat sipil perlu memainkan peran lebih aktif dalam membentuk wacana tentang CSR. Hal ini mengisyaratkan kalangan organisasi nonpemerintah juga harus lebih memahami agenda CSR, seperti aspek legislasi dan berbagai indikator kuantitatif keberhasilan CSR dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada kenyataannya, peta pemahaman organisasi nonpemerintah terhadap masalah ini masih sangat bervariasi. Yang tergolong garis keras condong menentang CSR karena dianggap produk neoliberal dalam rangka penaklukan masyarakat sipil. Ada yang berkompeten, memiliki komitmen, dan dapat berkolaborasi, tetapi jumlahnya masih sangat kecil. Bagian terbesar mungkin hanya free rider.

Tanggung jawab sosial dari perusahaan (CSR) didasarkan pada semua hubungan, tidak hanya dengan masyarakat, tetapi juga dengan pelanggan, pegawai, komunitas, pemilik, pemerintah, supplier, bahkan juga kompetitor.

Menurut Bank Dunia, Tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa komponen utama: perlindungan lingkungan, jaminan kerja, hak azasi manusia, interaksi dan keteribatan perusahaan dengan masyarakat, standar usaha, pasar, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, serta bantuan bencana kemanusiaan.

Pada hakikatnya, CSR memiliki nilai yang sangat baik, yaitu adanya keseimbangan antara profit (keuntungan dari perusahaan), people (manusia atau hubungan sosial), dan planet (lingkungan atau alam semesta), akan tetapi, sejak mendarat 6 tahun yang lalu di Indonesia, CSR sepertinya telah lepas dari makna esensialnya yaitu memaksimalkan dampak positif operasi perusahaan dan meminimalkan dampak negatif demi pembangunan berkelanjutan.

CSR saat ini banyak diletakkan oleh perusahaan sebagai ujung tombak dalam operasi perusahaannya. CSR tidak lebih sebagai media promosi, corporate branding agar perusahaannya dapat diterima di hati masyarakat. CSR tidak lebih dari sebuah public relation marketing yang hanya menjadi “pulasan kosmetik”, semata-mata demi citra perusahaan yang dermawan, padahal sesungguhnya tidak bertanggung jawab karena lalai dalam memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif proses bisnisnya.

Menurut Dosen Komunikasi UGM, Muhamad Sulhan, SIP, M.Si, selaku insitusi pendidikan, idealnya 30-40 % dari laba bersih perusahaan dikembalikan kembali kepada masyarakat, salah satunya melalui program CSR, akan tetapi yang terjadi di Indonesia, perusahaan-perusahaan tersebut hanya mengembalikan tidak lebih dari 10 % keuntungannya kepada masyarakat.
Direktur Bank Mandiri Budi G Sadikin, tahun 2008 lalu Bank Mandiri hanya menyisihkan sebesar Rp173,9 miliar atau 4% dari laba bersih Bank Mandiri untuk anggaran PKBL (Anonim, 2008).

Penyimpangan terhadap pelaksanaan CSR ini sebenarnya bisa dicegah bila ada kerja sama yang baik antara pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan dunia pendidikan. Pemerintah berperan penting dalam hal regulasi. Ketika pemerintah telah menerapkan sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak menjalankan CSR, maka semua perusahaan pasti akan tunduk dengan peraturan tersebut. Masyarakat yang kritis, misalnya melalui LSM, dapat menjadi auditor yang baik bagi pelaksanaan CSR, sedangkan peran dunia pendidikan adalah memberikan penilaian dan memberi masukan kepada pemerintah terhadap pelaksanaan CSR yang telah terjadi.

Setuju atau tidak setuju dengan pelaksanaan CSR, program-program berlabel CSR itu sejatinya sangat membantu dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat yang bisa turut diselesaikan atas peran besar perusahaan tanpa terlalu kental bermuatan pemasaran. Diselesaikan kalangan bisnis karena pemerintah tampak kepayahan bila bekerja sendiri untuk menyelesaikan 8 target Millenium Development Goals (MDGs) yang dijanjikannya, yaitu (1) menurunkan tingkat kemiskinan dan kelaparan, (2) meningkatkan pemerataan dan kualitas pendidikan, (3) mengupayakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian bayi, (5) meningkatkan kesehatan, (6) memberantas penyakit HIV, malaria, dll, (7) mengusahakan keberlangsungan lingkungan hidup, dan (8) melakukan kemitraan global untuk pembangunan (Teguh S, 2008).

Masyarakat, terutama yang berada dalam sasaran 8 target MDGs jelas masih membutuhkan peran perusahaan. terlebih, dana yang diputar dalam seabrek kegiatan berlabel CSR nilainya sudah sangat besar. bisa ratusan miliar rupiah dalam setahun. Itu baru dari kalangan swasta, dari kalangan BUMN, total dana program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang diambil dari laba bersih perusahaan pemerintah mencapai 1 trilyun setiap tahun (Teguh S, 2008).
Jumlah yang sangat banyak dan bila kita lebarkan lagi pada dana-dana yang bertebaran di masyarakat yang berada dalam aneka ragam bentuk kedermawanan (infak, sedekah, dsb) bisa dibayangkan multiplier effect yang bisa disatukan bila itu semua bergerak selaras.

Sebagian besar pelaksanaan CSR oleh perusahaan-perusahaan terkesan hanya memberi ikan tanpa memberikan kailnya. Ketika perusahaan menjalankan CSR pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan A misalnya, ketika perusahaan A tersebut telah selesai program CSR-nya, tidak ada follow up dari kegiatannya tersebut sehingga ketika program CSR itu berhenti, masyarakat ditinggalkan begitu saja dan masyarakat kembali pada keadaan sebelum diberikan program pemberdayaan oleh perusahaan A.

Pelaksanaan CSR oleh perusahaan di Indonesia terkesan berjalan sendiri-sendiri. Jarang ada perusahaan yang menjalankan CSR-nya bekerja sama dengan perusahaan lain. Mereka hanya ingin menonjolkan CSR-nyalah yang paling bagus di masyarakat, padahal jika pelaksanaan CSR dari perusahaan tersebut saling berkoordinasi dan memiliki visi dan misi yang sama untuk membantu pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, tentu hasilnya akan lebih efektif daripada jika dijalankan sendiri-sendiri seperti sekarang.

Dukungan pemerintah sangat penting untuk menciptakan kondisi demikian. Undang-undang hendaknya dilengkapi dengan sanksi yang tegas bagi para perusahaan yang “nakal” dalam pelaksanaan CSR, termasuk dana yang mereka keluarkan. Teknis pelaksanaan CSR yang baik dan berkesinambungan hendaknya juga dituangkan dalam undang-undang yang mengatur pelaksanaan CSR sehingga tidak ada lagi perusahaan yang bingung dalam pelaksanaan CSR.

D. Dampak CSR Bagi Masyarakat dan Perusahaan

Citra perusahaan di mata masyarakat sangat berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Teknologi informasi sekarang ini memudahkan masyarakat dalam mengakses berbagai informasi dari berbagai penjuru dunia. Jika satu perusahaan tidak menunjukkan komitmen sosial yang baik di suatu daerah, informasi ini akan cepat tersebar luas ke berbagai penjuru dunia. Akibatnya akan terbentuk citra yang negatif. Sebaliknya, jika perusahaan menunjukkan komitmen sosial yang tinggi terhadap kegiatan kemanusiaan, pelestarian lingkungan, kesehatan masyarakat, pendidikan, penanggulangan bencana alam, maka akan terbentuk citra yang positif.

Dengan adanya citra positif ini, maka perusahaan akan lebih mudah memperoleh kepercayaan dari tiap-tiap komponen masyarakat. Perlu dilakukan beberapa langkah strategis guna mendapatkan citra yang positif ini, diantaranya komitmen antara pimpinan dan bawahan untuk mewujudkan setiap tanggung jawab sosial perusahaan dalam setiap kegiatan bisnisnya.
Selain dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh trust (rasa percaya) dari masyarakat. Sense of belonging (rasa memiliki) perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga masyarakat merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.

E. Pengukuran Keberhasilan CSR
Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR walaupun sulit diperoleh kesepakatan atas ukuran yang digunakan untiuk mengukur performa sosial dan lingkungan. Banyak perusahaan menggunakan audit internal guna mengaudit laporan tahunan perseroan, tetapi laporan tersebut sangat luas format, gaya, dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun dalam industri sejenis). Banyak kritik bahwa laporan ini hanya sekedar “pemanis bibir” misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan-perusahaan rokok.

III. PENUTUP

Kesimpulan
Pembangunan suatu negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan industri, tetapi setiap manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat.

CSR hanya dijadikan alat marketing agar perusahaan memiliki citra positif di masyarakat.
Sampai saat ini masih sulit untuk mengukur performa sosial dan lingkungan, walau banyak perusahaan yang telah melakukan audit internal terhadap perusahaannya.

Pertamina, PT. Unilever Tbk, Bank Mandiri, Telkomsel dan PT. Newmont adalah contoh perusahaan di Indonesia yang telah menjalankan CSR, terlepas dari latar belakang mereka menjalankan CSR.

Saran
Pelaksanaan CSR hendaknya tidak hanya memberikan “ikan” kepada masyarakat, tetapi “kail” sehingga setelah pelaksanaan CSR usai masyarakat masih tetap dapat melanjutkan, tanpa ketergantungan dengan perusahaan yang memberikan bantuan.

Ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 ini hendaknya disebutkan pula mengenai sanksi bagi perusahaan yang sebenarnya mampu secara financial, tetapi tidak mau menjalankan CSR,
CSR hendaknya berdiri sendiri dalam sebuah perusahaan, bukan bagian dari humas, apalagi marketing diselewengkan keberadaannya.

Tidak ada komentar: